Sabtu, 21 Juni 2008

Menghadapi Pilkada Jateng


Entah kenapa, saya merasa tidak begitu antusias menghadapi pilkada jateng yang akan digelar esok hari. Hal ini disebabkan, hingga beberapa jam menjelang pilkada, saya belum juga mendapatkan kartu pemilih. Ini jelas aneh, wong pada pilkada kabupaten kemarin saya jelas-jelas terdaftar, kok bisa-bisanya yang kali ini enggak? Komplain sih udah. Cerita berawal ketika suatu sore ada petugas pendataan pemilih datang ke rumah, menanyakan suami saya. Yang menggelikan justru, nama suami saya masuk ke kartu keluarga orang lain. Ketika saya mengajukan keberatan, esoknya si pendata datang lagi, dengan membawa kartu pemilih sementara yang hanya terdapat nama suami saya saja. Saya jelas protes, wong saya punya hak pilih to? Tapi kenapa, justru suami saya yang notabene adalah pendatang, justru terdaftar. Jawaban petugas itu sangat sederhana, "Maaf Bu, saya cuma pelaksana. Nggak tahu apa-apa." Nuunsewu pak/bu anggota KPU, niki pripun to? Mbok dari awal, masalah pendataan pemilih, diserahkan ke masing-masing RT saja. Mereka pasti sudah paham sama warganya. Dan kejadian seperti ini pasti bisa diminimalisir. Pak/Bu KPU..lajeng kados pundi? Katanya nggak boleh golput?

Selasa, 10 Juni 2008

Mereka Telah Pergi...

Ne...bu Anis meninggal..
Begitu bunyi sms dari Reni (sahabat SMA saya). Bu Anis (Duroh Aniswati)adalah guru matematika, sekaligus wali kelas saya saat kelas 2 di SMU 2 Wonosobo. Sejenak pekerjaan saya terhenti. Ada sesal di hati saya, sebab beberapa hari yang lalu, begitu mendengar kabar bu Anis kritis karena komplikasi penyakit leukimia dan ginjal, sempat terbersit keinginan untuk mengumpulkan teman-teman seangkatan untuk menggelar doa bersama demi kesembuhan beliau. Tapi karena kesibukan saya dan teman-teman, rencana itu ternyata hanya menjadi sebuah wacana semata, alias tak terealisasi. Beberapa bulan yang lalu, rasanya belum hilang keterkejutan saya, mendengar seorang guru saya yang lain, bu Ucuk (guru Bahasa Indonesia) juga meninggal karena kanker rahim. Saat mendengar bu ucuk meninggal, terus terang saya menangis. Ada sebuah kejadian yang tak mungkin saya lupakan. Ah..betapa kematian adalah rahasia Allah SWT, seperti juga hidup dan jodoh seseorang. Ya Allah, sesungguhnya hanya kepadaMu kami kembali. Semua hanya soal waktu. Dan hari ini, dua orang yang saya hormati itu telah pergi. Saya percaya Engkau akan menempatkan mereka di tempat yang layak...bersama orang-orang yang baik..sebab, mereka adalah orang-orang yang baik. Amin.

Minggu, 01 Juni 2008

The Untold Story..


Dan perempuan di depan saya ini tak lebih dari seorang perempuan renta, tak berdaya dan merasa sepi. Air matanya selalu menetes disetiap kehadiran saya. Dia selalu terharu dan begitu cair menyambut saya. Sebuah situasi yang sangat kontras dengan apa yang terjadi pada kami, enam belas tahun yang lalu. Keras, tegas dan sikap tak peduli pada saya. Bahkan tak jarang, beberapa sikap dan perkataannya membuat saya ciut, tersudut, lalu menangis sendirian...dan tak ada yang tahu. Betapa hari-hari bersamanya, tak ubahnya hari-hari yang berat, tegang dan melelahkan. Wajar jika saya tak berarti baginya. Sebab kehadiran saya (kakak-kakak dan adik saya) tak begitu di harapkannya, karena kami terlahir dari sebuah perkawinan yang kurang mendapat restu darinya. Saya lelah setiap kali menerima pembandingan-pembandingan dengan anak-anak lain. Mereka lebih cantik, lebih pintar dan memiliki orang tua dengan tingkat perekonomian yang jauh lebih tinggi dari orang tua saya. Sungguh sebuah pengalaman traumatik yang terkadang masih membuat saya sakit dan menangis saat mengingatnya. Dan itu sungguh saya pendam sendiri. Sebuah cerita yang tak pernah saya ungkapkan, bahkan pada bapak sekalipun.
Dan, perempuan di depan saya ini benar-benar kesepian. Sebab kini, di masa tuanya, semua orang yang dulu dibangga-banggakannya itu, dan selalu menjadi pembanding bagi saya (karena saya dianggapnya tidak lebih baik dari mereka) satu-satu telah mengabaikannya, menguap meninggalkannya. Dan saya, bak seorang putri yang semula teraniaya, kini menjelma menjadi pelipur lara. Seorang putri tempat berkeluh kesah dan bersandar saat dia lelah. Menjadi telaga tempat dia menumpahkan segala gundah. Ini semua, karena bapak selalu mengajarkan pada anak-anaknya untuk selalu menghormati orang lain. Meski seseorang itu pernah menorehkan luka di kehidupan kita sekalipun. Apalagi terhadap saudara, bahkan seseorang yang telah membuat kita ada.
Salam dan hormat kami untuk mbah putri: kami tetap menyayangi mbah putri apapun yang terjadi...