Sabtu, 31 Mei 2008

Titip Salam Buat Lintang


"Jangan sedih Ikal, paling tidak aku telah memenuhi harapan ayahku agar tak jadi nelayan..."
Dan kata-kata itu semakin menghancurkan hatiku, maka sekarang aku marah, aku kecewa pada kenyataan begitu banyak anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi. Aku mengutuki orang-orang bodoh sok pintar yang menyombongkan diri, dan anak-anak orang kaya yang menyia-nyiakan kesempatan pendidikan.

Dan air mata saya meleleh lagi membaca salah satu bait dalam novel karya Andre Hirata itu. Masih banyak paragraf-paragraf lain dalam novel ini yang membuat saya tersentuh lalu menangis terharu. Inilah kali kedua sebuah novel yang saya baca, mampu menyentuh naluri saya, bahkan saya menangis (setelah novel fenomenal Ayat-ayat Cinta). Saya tersentuh dengan tokoh Lintang. Seorang pandai nan jenius, tak mengenal menyerah melawan medan ganas hingga puluhan kilometer, demi berangkat sekolah. Namun nasib baik lagi-lagi tak berpihak padanya. Lintang saya ibaratkan seperti sebongkah berlian yang tertutup debu dan lumpur. Cita-citanya surut dan takluk pada sebuah raksasa yang bernama kemiskinan.
Seandainya Andrea Hirata membaca tulisan saya ini (mungkin), saya hanya ingin menyampaikan satu hal: Saya tahu, tokoh Lintang adalah nyata. Entah kenapa, tiba-tiba saya ingin bertemu dengannya. Mungkinkah? Setidaknya saya ingin berkirim salam padanya. Sebagai orang yang berkecimpung di dunia pendidikan (meski bukan guru), novel ini benar-benar membuat naluri saya teriris. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa kasus Lintang ada di sekitar kita. Anak jenius yang seharusnya bisa menjadi kebanggaan bagi negara ini, harus terkurung pada kemiskinan. Dia menyerah pada kemiskinan. Sungguh sebuah ironi... Salut buat Andrea Hirata. Novel Anda sungguh realistis. Dan selamat, Anda berhasil membuat saya menangisi nasib Lintang..

Selasa, 27 Mei 2008

Makna Kehilangan


Dan sandal kesayangan Sheva itu pun hilang dalam perjalanan ke Purwokerto Minggu pagi. Secara, perjalanan kami lakukan dengan motor. Rencana bergembira di KidsFun pun menjadi agak berantakan. Tak henti-hentinya Sheva menyesali dan sesekali dia menangis manakala teringat sandal kesayangannya yang hilang itu. Bukan hanya Sheva yang menyesal, sebenarnya saya juga sedikit merasakan hal yang sama. Sebab, harga sandal itu yang menurut saya lumayan mahal, hehehe... Tapi saya dan suami saya terus menghiburnya. Berjanji bahwa kami pasti akan membelikan sandal pengganti yang tidak kalah bagusnya. Berbagai model dan merk kami tawarkan. Pada beberapa model dia tertarik. Pilihan akhirnya jatuh pada sebuah sandal jepit bergambar Naruto, kartun kesukaannya Awalnya kami kira hal itu akan membuat Sheva lupa pada sandalnya yang hilang. Tapi, rasa sedih ternyata bukan hanya monopoli orang dewasa saja. Dalam sebuah buku saya pernah membaca, rasa sedih juga menjadi salah satu penyebab seorang anak kecil dapat kehilangan nafsu makannya. Susah payah kami meyakinkan pada Sheva, bahwa di balik kehilangan kita pada sesuatu akan ada hikmah yang akan kita peroleh. Dan Alloh senantiasa memberikan ganti yang lebih baik pada kita asalkan kita ikhlas menerimanya. Dengan bahasa anak-anak, saya mengajak Sheva berdoa, semoga sandal itu jatuh tidak secara terpisah. Supaya seseorang yang menemukannya dapat merasakan manfaat dan kebahagiaan atas sandal itu. Dan mudah-mudahan, orang yang menemukan sandal itu adalah benar-benar orang yang membutuhkannya. Dan di luar dugaan kami, di sela-sela tangisnya, Sheva berujar, bahwa sandal itu bukan rejekinya, melainkan rejeki seorang anak yang tidak mempunyai sandal dan ingin sekali memiliki sandal. Amin... Terkadang, mendidik seorang anak kecil memang bukan sebuah perkara yang gampang. Baik buruk yang kita ajarkan, akan cepat sekali mereka tangkap, dihafalkan lalu dilakukan. Tapi pada dasarnya, mereka seperti selembar kain putih. Pada mereka lebih baik kita ajarkan untuk menasehati, tapi tidak memaki. Menyayangi, tapi tidak memarahi.

Jumat, 23 Mei 2008

Selamat Ulang Tahun, Sheva...


Tidak terasa, Sheva sudah berumur empat tahun. Rasanya baru kemarin kami merasakan 'kerepotan-kerepotan' kecil sejak kelahiran Sheva. Tadi malam, kami bertiga menghabiskan waktu dengan membuka foto-foto lama Sheva, menyimak metamorfosanya, dari Sheva berumur tujuh hari, sampai foto terbaru yang belum lama ini kami ambil. Dan hari ini (beberapa jam sebelum pemerintah memutuskan kenaikan harga BBM), kami ingin memanjatkan doa untuk kebahagiaan putra kami ini: Mudah-mudahan Alloh SWT selalu melindunginya, meluruskan jalannya yang masih sangat panjang, menjaganya dan menjadikannya anak yang sholeh dan berguna bagi orang tua, keluarga, agama serta negaranya. Amin..

Rabu, 14 Mei 2008

Si Mansur



Dulu sebelum menikah, saya punya julukan buat si ayah (yang waktu itu saya panggil Aa, ehm..) yaitu si Mansur alias Manusia Kasur. Gimana enggak, tiap kali saya main ke kontrakan si Aa, pasti lagi pules tidur. Ada bom meledak di sebelahnya juga ngga bakalan bangun, kali. Dan ternyata, julukan si Mansur itu masih saja disandangnya meskipun kami sudah menikah dan punya anak. Eh, ada sebuah cerita lucu yang selama ini gak pernah saya ceritain sama siapa pun, dan saya pasti bakalan terpingkal-pingkal sendiri saat mengingat peristiwa itu. Ceritanya waktu itu, kami sedang hangat-hangatnya menikmati masa honeymoon kami di Jogja. Iseng-iseng, kami tergoda juga ingin mencoba sebuah produk suplemen penambah kekuatan pria. Sebenarnya, saya sih yang kepengen. Aduh..terpaksa sebut merk nih... Itu lho IREX (Ups, sori nih..don't try this at home, ya..). Tapi apa yang terjadi?! Dengan penuh berdebar-debar menunggu khasiat suplemen itu, bukannya jadi tambah 'perkasa' dan melewati malam itu dengan indah, suplemen itu justru tak ubahnya seperti obat tidur bagi ayah. Ayah bener-bener tertidur pulas sampai pagi. Dan bisa dibayangkan bagaimana perasaan saya malam itu, antara berharap, perasaan dongkol tapi bercampur geli.Hahaha....! Ternyata julukan si mansur itu menurun juga pada anak saya. Mereka berdua benar-benar tidak butuh hitungan menit untuk terlelap. Begitu tubuh menyentuh kasur, bisa langsung tertidur pulas. Jangan berharap deh, bisa ngobrol panjang lebar sama si ayah di tempat tidur. Apalagi curhat. Baru beberapa kalimat saya buka, eh... yang terdengar malah dengkuran ayah. Lha, yang satu ini juga kebiasaan ayah, Selain mansur, ayah juga tukang dengkur. Pada awalnya, saya terganggu sekali dengan suara dengkuran ayah. Tapi sekarang, saya malah khawatir kalau ngga dengar dengkuran ayah. (Takut kalau si ayah tahu-tahu pingsan..hikikik). Wong, ayah itu ngakunya suka bola, tapi kalau tengah malam ada pertandingan bola di televisi pun, bisa ditebak, ayah lebih berat sama kasur (eh..ada yang protes nih di belakang). Kalau menurut saya, 'penyakit' tidur ayah udah termasuk parah. Lha gimana enggak, obat kuat sekelas Irex aja nggak mempan, tuh!

Minggu, 11 Mei 2008

Sebuah Perenungan

Saya akan bercerita tentang dua buah kejadian yang saya alami, dan saya yakin, setelah membaca cerita ini, kita akan mendapat sebuah pelajaran tentang sebuah kata: SEMANGAT! Cerita pertama terjadi beberapa bulan yang lalu, ketika sedang di sebuah pasar tradisional. Sekelompok pemuda yang mengamen, mendekati saya. Mereka memainkan gitar dan bernyanyi di samping saya yang sedang sibuk bertransaksi. Satu dari mereka mencolek bahu saya lalu menyodorkan tangannya mengharap saya memberi beberapa keping uang recehan. Dengan halus saya menggeleng. Tak saya sangka, pengamen itu malah memaki-maki saya. Katanya, dia akan mendoakan saya supaya jatuh miskin karena saya pelit. Lalu sambil berlalu salah satu dari mereka berujar, "Mau jadi apa negara ini, kalau semua orang pelit seperti kamu!" MasyaAllah..Dalam hati saya miris, apa jadinya negara ini kalau pemuda-pemudanya tak mau kerja keras. Saya tak memberi mereka uang bukan karena saya pelit, tapi sungguh saya hanya ingin memberi sebuah pembelajaran sederhana, bahwa mereka masih sangat muda, tenaga mereka masih sangat kuat untuk bekerja apa saja yang halal. Saya termasuk orang yang selalu membiasakan diri saya untuk tidak memberi uang kepada pengemis dan pengamen yang masih muda dan kuat. Kejadian yang kedua saya alami kemarin siang. Seorang bapak tua, mungkin seusia bapak saya namun masih kelihatan kuat, melintas di depan kontrakan saya, memikul dagangan berupa peralatan rumah tangga terbuat dari bambu. Beliau meminta ijin untuk numpang berteduh di depan kontrakan saya. Hari itu memang sudah sangat siang. Panas pula. Iseng-iseng saya menawar beberapa dagangannya yang masih banyak. Sambil bercerita, bahwa beliau mengambil dagangannya ini hingga ke Kebumen dan Banyumas. Ah, dalam hati saya malu sekali. Beliau yang sudah sepuh ini, dan sudah saatnya menikmati masa tuanya saja, masih mau memikul beban, berdagang keliling kota, mencari rejeki. Dan dari dagangannya itu saya yakin, beliau mendapatkan untung yang tidak seberapa. Tapi yang terpancar pada wajahnya yang legam dan berkeriput adalah kejujuran dan semangat yang luar biasa. Sementara saya yang masih muda begini, kadang sering mengeluh malas berangkat kerja, capek, kurang bersyukur dan lain-lain. Dua cerita yang sangat kontras. Tapi setidaknya saya bisa mengambil sebuah pelajaran yang sangat berarti, bahwa mumpung masih muda, harus SEMANGAT untuk bekerja, berprestasi, berkarya dan berguna bagi orang lain. Bahwa negara kita masih membutuhkan 'semangat, pikiran dan tenaga' para pemudanya, untuk mengejar ketertinggalan negara ini dari negara lain. Dan bahwa nasib kita di masa datang adalah ditentukan dengan apa yang kita lakukan sekarang. Bukan begitu?